Langsung ke konten utama

MA STORY : HORROR TIME - SIAPA DIA ORANG KE-6?

assalamuallaikum warahmatullahi wabarakaatuuh

selamat malam kawan-kawan

kali ini, untuk posting-an pertama untuk content di blog ini. MA STORY : HORROR TIME

***

cerita ini mungkin ga akan sebegitu seremnya sampai membuat bulu kuduk kalian berdiri. cerita yang masih fresh diingetan karena baru terjadi pada bulan-bulan akhir di tahun lalu.

awalnya hal ini tidak akan pernah disadari kalau aja aku dan dua temenku, sit dan fina, ga membahas hal ini di kemudian harinya. hari itu, kami bertiga nongkrong di satu mal di Malang. sambil membuka galeri foto sebagai bahan cerita dikala ngemil, akhirnya jariku menghentikan aktivitasnya dalam menggeser foto demi foto di HP-ku pada momen dimana aku menemani beberapa temanku, termasuk sit dan fina mengerjakan tugas vlogging dari matakuliah yang mereka ambil pada 16 November 2019. lokasi yang mereka pilih adalah salahsatu kampung kayutangan di jalan semeru. fyi, kami cuman berempat saat pertama kali masuk ke kawasan kampung tersebut. diceritakan perjalan masuk ke kampung itu emang cukup rumit, karena harus melewati kolong jembatan yang notabene dibawahnya langsung aliran sungai tanpa pembatas, jadi ada kemungkinan jatuh apabila kurang hati-hati sedikit saja. masuk ke area kampung kita diperlihatkan beberapa rumah arsitektur yang masuk pada zaman Indonesia dijajah Belanda sampai dengan gaya arsitektur 'perlawanan' yang kita sebut dengan arsitektur jengki. kami kemudian duduk di depan salah satu rumah di kampung itu yang dari luar kelihatan kosong, pagarnya digembok dari luar. dari luar rumahnya terlihat bersih dan rapi. mungkin penghuninya sedang bekerja atau pergi ke suatu tempat di luar kampung ini, pikir kami bertiga. sit dan fina berjalan terlebih dahulu mengelilingi kampung lebih lanjut, meninggalkan aku dengan rina yang memulai merekam konten vlog-nya dengan sedikit bantuanku. oh, ya, ga cuman karena sedang merekam video sebagai konten vlog, kami disitu juga sambil menunggu satu teman kami lagi, nena, datang menyusul. setelah nena mengkonfirmasi keberadaanya saat itu pada rina, rina inisiatif menjemput nena ke posisi dimana dia berada, menyisakan aku sendiri yang kemudian menyusul sit dan fina yang sudah lumayan jauh berjalan.

selanjutnya kudapati keduanya sedang mewawancarai seorang bapak dengan kaos singlet dan celana pendek yang mengaku sebagai ketua RW disana. memanfaatkan momen tersebut, aku merekam aktivitas wawancara tersebut untuk selanjutnya mereka gunakan untuk tugas vlogging mereka. tidak lama berselang, rina dan nena muncul dari arah belakangku, ikut nimbrung di forum kecil itu. berempat masuk kedalam  frame rekaman video di hapeku. cukup lama aktivitas tersebut berlangsung, jujur cukup bosan mendengarkan celotehan si bapak RW, sampai akhirnya di satu titik pembahasan tentang sejarah rumah-rumah di kampung itu, si bapak menyebutkan ada beberapa rumah yang sudah tidak ada lagi penghuninya. penghuni manusia saja yang dimaksudkan oleh bapaknya. diceritakan oleh si bapak, ada satu rumah di bagian-bagian depan kampung yang sering terdengar 'aktivitas' di kala siang maupun malam. biasanya terdengar suara tawa anak-anak seperti bermain di teras depan rumah ataupun atap (entah maksud bapaknya adalah loteng). setiap rumah kosong tak berpenghuni itu selalu memiliki tanda yang sama, yaitu pagarnya digembok dari luar. deg! jantungku berdetak lebih keras dari biasanya. itu, kan, rumah yang tadi kita nongkrong didepannya, batinku. engga, sebenernya aku ga seberapa takut, hanya merasa momennya sedikit ngena, ini kampung heritage, kampung yang punya usia rumah bahkan nyaris seumuran dengan kemerdekaan Indonesia. mungkin setelah percakapan sekitar 45 menit, kami memutuskan pamit dan melanjutkan perjalanan mengelilingi kampung, termasuk melihat 'air terjun' yang sebenarnya adalah water reservoir. setelah melihat air terjun itu, kami memutuskan untuk menyelesaikan perjalan mengintari kampung, dan berpikir mencari makan pagi (padahal sebenernya sudah menjelang siang). tapi sebelum beralih dari kampung itu, ada satu rumah yang menarik perhatian kami; rumah dengan arca/relief di dinding pagar-nya yang sudah ditumbuhi lumut, mungkin karena sangat lembab disana. bukan hanya karena relief tersebut, ada satu hal lain yang membuat kami tertarik : rumah itu memiliki pagar yang digembok dari luar! singkat cerita, perjalanan kami setelah keluar dari kawasan kampung tersebut adalah makan di salah satu cafe 'I' ga seberapa jauh dari kampung itu + berkunjung ke satu mal yang juga ga seberapa jauhnya.

hal janggal memang ga terjadi pada saat itu juga, semua berjalan seperti biasanya. semua ini terungkap pada tanggal 24 Januari 2020, dua bulan lebih setelah momen jalan-jalan itu. membuka satu persatu galeri HP, sampai di satu percakapan :

aku : "... kita jalan-jalan berenam."

sit dan fina seakan-akan menemukan kejanggalan dengan kalimat yang baru saja aku ucapkan dihadapan mereka perihal jalan-jalan ke kampung yang kami lakukan dua bulan yang lalu.

sit : "berenam? kita, tuh, cuman berlima."

aku masih bersikeras dengan pendapat yang berdasarkan dengan ingatanku sendiri. "engga, kita, tuh, berenam!"

entahlah, aku lupa siapa yang akhirnya menekankan kembali pernyataanku dengan serangan satu pernyataan yang pada akhirnya menampar memoriku, "kalo emang berenam, siapa aja orangnya?" tanyanya. aku mencoba mengingat satu persatu orang-orang yang ikut dalam jalan-jalan itu. aku, fina, nena, rina, sit, dan wid- oh, engga dia ga ikut. tunggu, ini cuman berlima! tapi aku yakin berenam!

ingatanku mempermainkanku. seolah-olah menertawakanku. tapi tidak dengan insting ini. aku masih yakin kami saat itu berenam. karena... karena...

aku merasakan seseorang, yang aku rasa dan yakin adalah bagian dari kami, berdiri di belakangku, entah apa yang sedang dilakukannya saat aku merekam video wawancara teman yang lain... 

aku merasakan seseorang, entah apa yang dimakannya, saat kami duduk makan siang di cafe, berada di meja yang sama dengan kami berlima... 

dia menjadi bagian dari kami dan aku mungkin tidak akan pernah menyadarinya-

setelah berdiskusi cukup lama, kami menyimpulkan 'dia' mengikuti kami sejak pertama; di rumah pagar bergembok dari luar

***

wassalamuallaikum warrahmatullahi wabarakaatuuh

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Writing Challenge: A Special Toy Growing Up

Walaupun di beberapa posting -an sebelumnya aku selalu bilang berat menjadi anak pertama di keluarga, tapi aku tetap merasa sangat beruntung berada di dalamnya. Terutama karena almh. Mamah dan juga keluarga dari pihak mamah yang selalu menghujaniku dengan rasa kasih sayang yang luar biasa, bahkan sampai dengan sekarang.   Aku ingat cukup banyak mainan yang kupunya, seperti puzzle , mainan balok KW-annya Lego, Boneka Barbie ,  dan masih banyak lagi. Dari yang dibeli murahan di pedagang mainan asongan, di toko mainan, sampai dengan sebagai oleh-oleh dari luar kota. Masih sangat melekat diingatan waktu itu aku diajak oleh salah satu kaka sepupuku pergi ke town plaza untuk membeli mainan. Usiaku saat itu mungkin masih 4 - 5 tahun. Disitu diajaknya aku memilih mainan sendiri dan pilihan hatiku jatuh pada set mainan peraga masak-masakan. Sampai saat ini aku ingat persis warna panci mainan itu yang berwarna biru tua dilengkapi dengan stiker bergambar makanan berkuah yang banyak wort...

Writing Challenge: Reflect on a Painful Childhood Experience

Aku pernah nyaris menghilangkan nyawaku sendiri... Aku tidak sama sekali ingin menyembunyikan fakta pahit itu. Akan kuberikan sebagai pelajaran bagiku sendiri di kemudian hari. Bahwa menjadi yang pertama adalah bukan segalanya. Kembali lagi pada kenyataan yang sudah kuungkapkan di posting- an sebelumnya, bahwa menjadi anak pertama memang sesulit itu. Banyak tekanan dan banyak tuntutan. Aku yakin semua anak se-Asia merasakan hal yang sama denganku. Dulu, saat aku sangat dituntut untuk selalu mendapatkan peringkat I di sekolah. Aku selalu dituntut untuk belajar yang giat. Sangat wajar sebenarnya. Aku tetap diberi kesempatan untuk main, kok. Tapi, aku diberikan waktu yang ekstra oleh orang tuaku untuk mengenyam ilmu lagi di luar sekolah alias les.   Bahkan saat aku duduk di bangku Taman Kanak - Kanak sudah diberikan bimbingan belajar oleh orang tuaku di tempat tetangga yang kebetulan juga merupakan guru TK (bukan guru TK-ku tapi) selama dua tahun sampai dengan aku duduk di kelas I SD....

Writing Challenge: A Letter to My Younger Self

Hai, Ima Isma Fawzeya Rosida Nama yang sebenarnya sampai sekarang aku sendiri jujur tidak begitu suka. Kenapa harus memulai nama dengan huruf vokal? Huruf "I" pula! Tapi apalah yang harus disesalkan? Bukan aku juga yang memilih. Pada saat aku menuliskan ini untukmu, usia kita adalah 26 tahun! Wah, bagaimana, ya, kamu mendeskripsikan dan memvisualisasikan perempuan berusia 26 tahun kala itu? Coba nanti kasih tau aku, ya! Hai, gadis kecil berambut ikal Aku selalu suka rambut itu. Mamah juga suka rambut itu. Kita pernah sekali melakukan smoothing rambut dan itu menjadi salah satu penyesalan kita seumur hidup! Oh, iya, saat dewasa, rambut kita hampir selalu pendek. Aku sendiri tidak begitu tahan dengan rambut yang terlalu panjang, tidak seperti kamu yang mungkin menyukainya. Tapi kamu sebenarnya sadar, kan, kalau rambutmu itu susah disisir kalau panjang? But, it suits you the most and now the short one suits me the most. so, we need to respect each other decision, right? Hai, s...