Langsung ke konten utama

Writing Challenge: A Letter to My Younger Self

Hai, Ima

Isma Fawzeya Rosida

Nama yang sebenarnya sampai sekarang aku sendiri jujur tidak begitu suka. Kenapa harus memulai nama dengan huruf vokal? Huruf "I" pula! Tapi apalah yang harus disesalkan? Bukan aku juga yang memilih.

Pada saat aku menuliskan ini untukmu, usia kita adalah 26 tahun! Wah, bagaimana, ya, kamu mendeskripsikan dan memvisualisasikan perempuan berusia 26 tahun kala itu? Coba nanti kasih tau aku, ya!

Hai, gadis kecil berambut ikal

Aku selalu suka rambut itu. Mamah juga suka rambut itu. Kita pernah sekali melakukan smoothing rambut dan itu menjadi salah satu penyesalan kita seumur hidup! Oh, iya, saat dewasa, rambut kita hampir selalu pendek. Aku sendiri tidak begitu tahan dengan rambut yang terlalu panjang, tidak seperti kamu yang mungkin menyukainya. Tapi kamu sebenarnya sadar, kan, kalau rambutmu itu susah disisir kalau panjang? But, it suits you the most and now the short one suits me the most. so, we need to respect each other decision, right?

Hai, si anak pertama

Jadi anak pertama di keluarga kita memang cukup berat, kok. Sampai sekarang. Tapi aku sendiri akan memastikan kalau kita bisa melaluinya dengan cukup baik. Saking baiknya, kita bahkan lulus dari Universitas Brawijaya, loh! Jurusan Arsitektur! Pas seperti cita-cita yang kamu inginkan dari kelas IV SD! Bukan, bukan, polwan seperti yang kamu bayangkan waktu saat TK! Fisikmu sangat tidak cocok untuk jadi Polwan. Oh, ya, kabar tidak mengenakkan sedikit yang mau aku kasih tau ke kamu. Tapi kamu harus siapkan diri untuk selalu kuat, ya. Dimulai dari Adik Nadra meninggal di umurnya yang ke-9 di tahun 2015 dan Mamah. Iya, Mamah. Orang yang paling kamu sayangi di dunia ini dipanggil begitu cepat sama yang Maha Memiliki di tahun 2021. Pas di hari ulang tahunnya. Sekarang kamu hanya punya Papah yang harus kamu jaga dan kamu banggakan. Tetap semangat, ya!

Ngomong-ngomong kuliah arsitektur, aku kasih tau sedikit, ya, kalau kamu pada akhirnya ga kerja di bidang itu. Malahan kamu sekarang kerja di bidang fashion retail. Agak lucu, ya, ternyata plot twist dunia kerja sekarang. Tapi, gapapa. Lingkungan kerjamu positif banget dan kamu lumayan enjoy dengan segala pekerjaan di dalamnya. Paling ngeluh-ngeluh tipis wajar, lah, ya...

Tadi kira-kira gimana? Gimana kamu memvisualisasikan kita di usia 26 tahun? Apa? Sudah menikah dan punya keluarga kecil? Pertanyaan yang bikin aku sekarang tertawa miris. Belum, kita di usia 26 tahun sekarang masih lebih sering senang-senang sama teman-teman. Apa? Banyak teman? Engga sebanyak dulu, sih. Pada akhirnya alam lah yang menyeleksi semua. Tapi aku percaya, sedikit-banyak teman yang kita punya sekarang, mereka adalah teman-teman terbaik dan tertulus yang kita punya. Dan, kita sama-sama berdoa, ya, semoga satu sampai dua tahun ini Allah sudah bukakan pintu rezeki pernikahan untuk kita. Juga jangan lupa, pintu rezeki yang halal dan banyak.

Ini tidak akan pernah jadi yang terakhir untuk aku bercerita lagi padamu. Aku percaya perjalanan dalam kehidupan kita di masa yang akan datang bakal lebih seru lagi untuk diceritakan. Intinya aku sangat mencintaimu dan jadilah orang yang senantiasa meyenangkan bagi diri sendiri dan orang lain.


Sincerly,

Isma 'Ima' Fawzeya Rosida


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Writing Challenge: A Special Toy Growing Up

Walaupun di beberapa posting -an sebelumnya aku selalu bilang berat menjadi anak pertama di keluarga, tapi aku tetap merasa sangat beruntung berada di dalamnya. Terutama karena almh. Mamah dan juga keluarga dari pihak mamah yang selalu menghujaniku dengan rasa kasih sayang yang luar biasa, bahkan sampai dengan sekarang.   Aku ingat cukup banyak mainan yang kupunya, seperti puzzle , mainan balok KW-annya Lego, Boneka Barbie ,  dan masih banyak lagi. Dari yang dibeli murahan di pedagang mainan asongan, di toko mainan, sampai dengan sebagai oleh-oleh dari luar kota. Masih sangat melekat diingatan waktu itu aku diajak oleh salah satu kaka sepupuku pergi ke town plaza untuk membeli mainan. Usiaku saat itu mungkin masih 4 - 5 tahun. Disitu diajaknya aku memilih mainan sendiri dan pilihan hatiku jatuh pada set mainan peraga masak-masakan. Sampai saat ini aku ingat persis warna panci mainan itu yang berwarna biru tua dilengkapi dengan stiker bergambar makanan berkuah yang banyak wort...

Writing Challenge: Reflect on a Painful Childhood Experience

Aku pernah nyaris menghilangkan nyawaku sendiri... Aku tidak sama sekali ingin menyembunyikan fakta pahit itu. Akan kuberikan sebagai pelajaran bagiku sendiri di kemudian hari. Bahwa menjadi yang pertama adalah bukan segalanya. Kembali lagi pada kenyataan yang sudah kuungkapkan di posting- an sebelumnya, bahwa menjadi anak pertama memang sesulit itu. Banyak tekanan dan banyak tuntutan. Aku yakin semua anak se-Asia merasakan hal yang sama denganku. Dulu, saat aku sangat dituntut untuk selalu mendapatkan peringkat I di sekolah. Aku selalu dituntut untuk belajar yang giat. Sangat wajar sebenarnya. Aku tetap diberi kesempatan untuk main, kok. Tapi, aku diberikan waktu yang ekstra oleh orang tuaku untuk mengenyam ilmu lagi di luar sekolah alias les.   Bahkan saat aku duduk di bangku Taman Kanak - Kanak sudah diberikan bimbingan belajar oleh orang tuaku di tempat tetangga yang kebetulan juga merupakan guru TK (bukan guru TK-ku tapi) selama dua tahun sampai dengan aku duduk di kelas I SD....